Aku dan Nia : Aku hari ini bangun kesiangan karena tadi malam maraton untuk nonton film kesukaanku. Aku kebangun karena terdengar suara bising disamping rumahku yang lumayan mengganggu, segeralah Aku bangun dan membersihkan tempat tidurku. Saat keluar kamar ada Ayahku yang lewat di depan kamarku, Aku menghentikan ayahku dan bertanya “Yah di luar ada apa? Kok suaranya bising sekali sampai Aku kebangun” ayahku menjawab “Ohh, ituloh Pak Tono dan keluarganya mau pindah rumah” Aku pun terdiam dan tidak lama Aku pun shock, “HAH? Ayahnya Nia dan keluarga Nia mau pindah yah??” sebelum ayah menjawab Aku pun lari keluar rumah dan menemui Nia sahabat kecilku.

Nia adalah sosok yang memancarkan keindahan dalam setiap langkahnya. Dengan rambut panjang berkilau hitam yang sering dibiarkan terurai, ia menarik perhatian di mana pun berada. Wajah ovalnya dihiasi kulit halus dan cerah, memberikan kesan segar dan muda. Saat tersenyum, pipinya yang sedikit tembam menciptakan pesona manis yang tak terlupakan. Sedangkan, Aku adalah seorang gadis desa dengan pesona sederhana namun memikat. Rambutku panjang dan hitam, sering diikat ke belakang atau dibiarkan terurai. Kulitku sawo matang, hasil dari paparan sinar matahari saat membantu orang tua di ladang.
Wajahku bulat dengan pipi chubby yang memberi kesan ceria. Mataku berwarna cokelat gelap, bersinar penuh rasa ingin tahu. Senyumku lebar dan tulus, selalu muncul saat berbincang dengan teman-teman. Postur tubuhku tidak terlalu tinggi, tetapi proporsional dan kuat karena aktivitas sehari-hari. Matanya besar dan berbinar, dipenuhi rasa ingin tahu yang membuatnya terlihat lebih menarik. Bulu mata lentiknya menambah kedalaman pada tatapannya, seolah setiap pandangan menyimpan cerita. Postur tubuh Nia proporsional, dengan tinggi badan ideal untuk usianya, dan ia selalu tampil percaya diri dalam berbagai gaya berpakaian.
Nia adalah sahabat kecilku bahkan kita lahir dalam waktu berdekatan. Aku dan Nia terlihat seperti kakak dan adek, dari kecil kami selalu bersama. Kami menghabiskan masa kecil bersama berbagi tawa dan air mata, walaupun kami berbeda agama Aku Muslim dan Nia Kristen tetapi hal itu tidak menghalangiku untuk terus bersama. Suatu hari, di bawah pohon mangga depan rumahku saat kami istirahat setelah bersepeda keliling desa tiba tiba Nia berkata “Kita tetap jadi sahabat kan?” Aku mengangguk dan tersenyum, tidak menyadari bahwa pertanyaan itu akan di uji oleh waktu. Kami sering berbagi cerita tentang agama masing-masing. Nia menceritakan tentang Natal dan tradisi keluarganya, sementara Aku menjelaskan tentang Ramadan dan Puasa. Kami saling menghormati satu sama lain dan itu membuat ikatan kita semakin baik.
Ketika orangtuanya memutuskan untuk pindah ke Papua karena ayahnya merupakan seorang Dokter yang di tugaskan disana, saat itu juga hatiku hancur. Hari terakhir kami bersama terasa seperti mimpi buruk di hidupku. Kami berpelukan erat, air mata mengalir di masing-masing pipi kami. “Jangan lupakan aku ya Nia…” bisikku. “Aku tidak akan melupakan mu dan semuanya… Jaga diri baik-baik yaa”, jawab Nia dengan suara bergetar.
Setelah kepergian Nia, hidupku terasa sepi. Setiap kali aku melihat foto-foto kami di album, nostalgia menyergap hatiku. Aku sering berjalan ke taman tempat kami bermain dulu, berharap bisa merasakan kehadirannya lagi. Teman-temanku pun mencoba menghiburku, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan Nia. Malam-malam panjang sering aku habiskan dengan merenungi perbedaan kami. Meskipun ada batasan keyakinan kami, cinta dan persahabatan yang kami miliki tak terpengaruh oleh hal itu.
Suatu sore, Aku duduk di bangku taman dengan buku diary. Aku bernostalgia, dulu di taman ini kami sering menggambar dan bercerita tentang impian kami, “Suatu saat kita bekerja menjadi dokter di rumah sakit bersama-sama ya!” Nia sering berkata seperti itu dengan semangat dan aku yang antusias pun tersenyum dan berharap. Disini juga aku suka bercerita tentang saat Ramadan tiba,puasa dan istimewanya berbuka puasa bersama keluarga. Dia mendengarkan dengan seksama“Gimana sih rasanya menunggu puasa berakhir?” tanyanya, “Rasanya seperti menunggu hadiah yang udah lama aku tunggu-tunggu” jawabku sambal tertawa. Sementara itu, menjelang Natal, Nia bercerita tentang tradisi keluarganya dalam merayakan natal. “Kami menghias pohon natal dan berkumpul serta membagikan hadiah”, katanmya dengan mata berbinar. Aku mulai menulis semua kenangan indah kami, tawa saat bermain hujan, juga rahasia yang kami bagi di bawah bintang-bintang. Menulis membuatku merasa dekat dengan Nia.
Untuk mengatasi rasa rinduku, aku mulai menulis surat untuk Nia setiap minggu. Dalam surat-surat itu, aku mencurahkan semua perasaanku tentang pelajaran di sekolah yang kadang membosankan, tentang teman-teman baru yang tidak bisa menggantikan posisinya dalam hidupku.
Setiap kali menerima balasan dari Nia, hatiku berbunga-bunga. Dia menceritakan tentang kehidupan barunya di Papua pantai yang indah dengan pasir putih dan laut biru jernih.
Setelah satu tahun berlalu penuh rindu dan harapan, akhirnya datanglah waktu yang kutunggu-tunggu Nia kembali ke desa untuk liburan! Saat melihatnya turun dari mobil keluarganya, hatiku berdebar-debar. Dia tampak lebih dewasa dengan senyuman lebar yang selalu kuingat.Kami langsung berpelukan erat seperti tidak ada jarak yang memisahkan kami selama ini. “Aku membawa oleh-oleh dari Papua!” serunya sambil menunjukkan kerajinan tangan warna-warni yang indah.
Kami menghabiskan waktu bersama seperti dulu berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing selama setahun terakhir dan mengenang kembali masa-masa indah bersama di bawah pohon manggDari pengalaman ini, kami belajar bahwa persahabatan sejati tidak mengenal batasan agama atau jarak. Kami bertekad untuk terus menjaga hubungan ini selamanya. Setiap surat yang kami tukar menjadi jembatan penghubung antara dua dunia yang berbeda tetapi saling melengkapi. Nia berkata suatu hari nanti dia ingin merayakan Ramadan bersamaku di desaku. “Dan aku akan membawamu ke Papua! Kita akan menjelajahi pantai-pantai indah di sana,” ujarnya penuh semangat.
Namun, waktu berlalu begitu cepat dan liburan pun segera berakhir. Suatu pagi yang cerah, saat matahari mulai bersinar lembut di atas desa kami, aku tahu bahwa hari perpisahan kembali tiba. Mobil keluarganya sudah terparkir di depan rumahku. Nia berdiri di depan pintu rumahku dengan raut wajah campur aduk—antara bahagia karena bisa kembali dan sedih karena harus pergi lagi. “Aku tidak ingin pergi,” katanya sambil menggenggam tanganku erat-erat.“Begitu juga aku,” jawabku dengan suara serak. “Tapi kita akan selalu punya kenangan ini.”
Kami berjalan-jalan sejenak di sekitar desa sebelum dia pergi—menyusuri jalan setapak yang sering kami lalui bersama, berhenti sejenak di taman tempat kami pertama kali bertemu. Di sana, kami duduk di bangku tua sambil mengenang tawa dan cerita-cerita lucu yang pernah kami bagi.
“Apakah kita akan terus bertukar surat?” tanyaku dengan harapan.
“Pastinya! Kita harus terus berbagi cerita,” jawab Nia sambil tersenyum lebar.
Saat jam menunjukkan waktu keberangkatannya semakin dekat, suasana menjadi semakin tegang. Kami kembali ke depan rumahku dan berdiri di sana dalam hening sejenak.
“Selamat tinggal… sampai jumpa lagi,” ucapku dengan suara bergetar.
Nia melambaikan tangan sambil menaiki mobil dengan tatapan penuh harapan namun juga ketidakpastian di matanya. Mobil itu mulai bergerak menjauh meninggalkanku berdiri sendirian di halaman rumah.
Saat mobil itu semakin jauh hingga akhirnya menghilang dari pandanganku, sebuah rasa haru menyelimuti hatiku—tapi kali ini bukan hanya kesedihan; ada juga rasa syukur karena telah memiliki persahabatan seindah ini.
Hasil Karya Ananda : Susi Novita Sari F3 SMAN 1 Kudus